Selasa, 30 November 2010

Perempuan Korban Kekerasan di Simpang Jalan


Pasal pertama dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan merdeka, memiliki martabat dan hak-hak yang sama. Pasal pembuka tersebut sekaligus menjadi inti dari Hak Asasi Manusia yakni tidak boleh ada pembedaan perlakuan pada siapapun, tidak boleh ada diskriminasi pada segenap manusia, siapapun dia (Fakih, 2003:1). Bertolak belakang dengan pernyataan tersebut, perempuan yang sering dianggap sebagai makhluk lemah secara fisik kerap mendapat perlakuan kasar dan menyakitkan. Pelanggaran terhadap Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tersebut masih cukup banyak ditemui di tengah kehidupan masyarakat.

Diskriminasi terhadap perempuan menyudutkan posisinya dalam memperoleh penghidupan yang layak. Wajah dunia dirasa masih belum ramah dalam memperlakukan perempuan. Masih saja, posisi perempuan hanya sebagai subordinat, pelengkap kemapanan laki-laki. Ketergantungan secara materi terhadap laki-laki membuat perempuan tidak memiliki nilai tawar dalam pengambilan keputusan hal terbaik bagi dirinya sendiri sekalipun. Semangat anti diskriminasi tidak sekuat pernyataan yang dilontarkan berbagai pihak. Kepentingan ekonomi dan kepentingan politik seringkali telah mengaburkan kepentingan kemanusiaan. Seringkai juga ditemukan pernyataan yang mengatasnamakan “moral”, padahal di balik pernyataan tersebut justru menjadi piranti untuk meruntuhkan moral kemanusiaan itu sendiri (Fakih, 2003:2).

Nilai-nilai budaya yang membatasi peran perempuan untuk berpartisipasi dalam ruang publik masih cukup kuat mempengaruhi masyarakat serta pengambil kebijakan. Konstruksi patriarkhi telah mengakar kuat di Indonesia, memosisikan perempuan selayakya cukup berada di ruang domestik saja. Posisi lemah perempuan ini memunculkan potensi penindasan dalam rumah tangga. Laki-laki yang merasa dirinya lebih memiliki peranan lebih penting dalam kelangsungan rumah tangga kemudian memunculkan relasi Tuan-Budak yang satu melayani yang lain, bukan lagi Suami-Istri yang saling mencintai.

Dalam bukunya Jenseits vom Guten und Bosen (Melampaui Baik dan Buruk), Nietzsche berbicara tentang genealogi moral. Genealogi adalah penyingkapan kedok nafsu-nafsu, kebutuhan-kebutuhan, ketakutan-ketakutan, dan harapan-harapan yang terungkap dalam sebuah pandangan tertentu mengenai dunia, misalnya dalam moralitas. Jadi, moralitas ditangani oleh Nietzsche sebagai semacam bahasa isyarat dari emosi-emosi. Kedok atau bahasa isyarat itu adalah rasionalitas, objektivitas, atau universalitas pandangan tertentu, padahal, menurut Nietzsche, semua itu hanya menyembunyikan sudut pandang terbatas dari penganutnya (Hardiman, 2006:268).

Sikap dan perilaku manusia yang baik maupun buruk ditentukan oleh konstruksi masyarakat setempat. Posisi perempuan sebagai subordinat mendapat nilai moralitas yang dikonstruk secara seksis oleh masyarakat. Perempuan dalam kepatuhannya terhadap laki-laki dinilai sebagai perempuan yang baik. Namun, hal ini acapkali tidak diimbangi dengan kepatuhan laki-laki dalam melindungi dan menyayangi perempuan. Kekuatan fisik yang dimiliki laki-laki kerap digunakan untuk melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga tanpa melihat daya tahan perempuan.

Dalam tulisannya yang berjudul Kekerasan Gender dalam Pembangunan, Fakih memaparkan tentang ragam kekerasan gender. Secara umum ada beberapa bentuk kekarasan gender tehadap kaum perempuan. Pertama, kekerasan terhadap pribadi. Seringkali kaum perempuan secara personal menderita dan menjadi korban kekerasan fisik dan mental dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kedua, kekerasan di dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga ini umumnya paling sulit diungkapkan, karena selain dianggap sebagai urusan internal suatu rumah tangga, juga ada kecenderungan masyarakat lebih menyalahkan korbannya. Ketiga, kekerasan publik. Kekerasan terhadap perempuan di luar rumah atau di masyarakat umumnya, terjadi dalam bentuk sanksi sosial dan kultural serta diskiminasi (Fakih, 2000: 78-80).

Di antara tiga macam kekerasan gender yang diungkapkan oleh Fakih tersebut, yang paling banyak dialami perempuan adalah kekerasan dalam rumah tangga. Meski kekerasan gender yang lain pun kerap terjadi, kekerasan dalam rumah tangga dianggap paling sulit dilepaskan karena adanya ikatan perkawinan. Konstruksi masyarakat tentang anak perempuan harus segera menikah seolah mendukung kehendak orang tua untuk sesegera mungkin menikahkan anaknya.

Perlakuan resistensi yang dialami menjadi alasan perempuan untuk memikirkan kembali kehidupan pribadinya dan bersikap memberontak terhadap kondisi yang merugikannya. Pendidikan rendah, kemampuan skill yang minim, dan tidak memiliki uang yang cukup, maka menjual diri adalah terpaksa dilakukan oleh sebagian perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga. Keputusan ini lebih dikuatkan oleh tekad memenuhi kebutuhan hidup untuk dirinya dan keluarga. Alih-alih untuk menunjukkan kepada pihak laki-laki bahwa perempuan pun mampu hidup tanpa diperbudak oleh suami mereka. Maka, nilai moral maupun agama menjadi barang terlarang untuk dibicarakan dalam kehidupan mereka. Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang sebagian itu telah memutuskan untuk menjalani hidupnya sebagai wanita pekerja seks. Bagi mereka, keputusan yang diambil cukup memberikan kemerdekaan ironis yang cukup menyenangkan meski hanya sementara.

Perkawinan yang tidak didasari oleh kerelaan dan kesiapan terutama pihak perempuan menjadi jalinan keterikatan yang bias gender. Hukum perkawinan di Indonesia cenderung patriarkhi sehingga menyulitkan perempuan untuk mengkahiri perkawinan yang merugikan dirinya. Peran dan tanggung jawab wanita dalam menciptakan keluarga sesungguhnya tidak dapat dipisahka dari peran dan tanggung jawab pria. Tidak dapat dikatakan yang satu dominan dan lebih menentukan, sedangkan yang lain sekedar pelengkap. Dengan tujuan menciptakan keharmonisan rumah tangga, kedua pihak memikirkan kebaikan dan kepentingan bersama. Dengan demikian tidak ada pihak yang satu merugikan yang lain.